Indahnya
rembulan, dinginnya malam, dan nyanyian angin semilir yang bergantian menjadi
saksi bisu akan kehangatan keluarga sederhana yang ku miliki ini. Selepas
maghrib adalah momen yang terlalu indah untuk dilewatkan. Karena memang momen
ini yang menjadi kenangan disaat kaki ini melangkah meraih asa. Aku dilahirkan
dalam keluarga yang cukup sederhana, dari rahim seorang ibu yang memiliki suami
yang luar biasa hebat peranannya dalam keluarga. Anak-anaknya biasa
memanggilnya dengan sebutan sayang yaitu Bapak.
Ialah bapak yang setia menemani istrinya disaat melahirkan
anaknya untuk memastikan bahwa istri dan anaknya yang akan menghiasi dunia ini baik-baik
saja. Ialah bapak yang tak pernah lelah untuk mencari nafkah menjalankan
kewajibannya untuk keluarganya, Ialah bapak yang hebat dalam peranannya, Ialah
Bapak yang tak ada tandingannya dengan para ayah-ayah yang lainnya. Bapak
adalah seorang wirausaha (ya, lebih sering dipanggil pedagang) disalah satu
pasar di IBU KOTA ini. Bapak memang bukan seorang presiden di negeri ini, tapi
bagiku bapakku adalah presiden di keluarga serta di hatiku ini dan bapak memang
bukanlah seorang aktor yang terkenal, namun bagiku cukuplah bapakku yang
kumiliki yang menjadi aktor dalam hatiku.
Teringat suatu perbincangan ringan dengannya. “Pak,
cita-citaku ingin menjadi menteri kesehatan. Boleh engga?” tanyaku pada bapak.
“apapun cita-cita anak-anak bapak, yang terpenting adalah dapat bermanfaat
untuk banyak orang lain dengan cita-citanya itu.” jawabnya dengan tenang.
Ibu dan bapak bekerja saat malam hari hingga pagi
hari menjelang. Ya, karena memang pasar yang di tempati untuk berdagangnya ini
melakukan aktivitasnya saat malam hari hingga pagi hari. Inilah yang menjadi
salah satu sebab beruntungnya diriku dibandingkan dengan teman-temanku yang
lainnya. Karena orangtuaku mempunyai waktu cukup banyak untuk anak-anaknya.
“Pak, kalo jualan di pasar saat hujan datang itu
gimana?” tanya adikku, “Itu sudah biasa bagi Bapak dan Ibu. Karena untuk
anak-anaknya.”
Ketika lelah menyapa diriku saat harus pergi-pulang
kuliah, rapat sana-sini, pulang malam karena macet yang tak tertahankan, praktek
yang cukup menguras pikiran, ketika itulah wajah bapak terngiang dalam pelupuk
mata ini. teringat akan kerjanya, nasehatnya yang diberikan untuk anak-anaknya.
Kini rambut bapak telah berangsur memutih,
menandakan bahwa usianya tidak lagi muda. Tubuhnya juga sudah tidak seperti
difoto kenangan masa kecilku lagi, dan kini bapak sudah memasuki usia kepala
lima.
Duhai Robbku, ku titipkan bapak dan ibu ku
kepada-Mu. Karena Engkau sebaik-baik penjaga.
Duhai Robbku, sayangilah dan kasihanilah mereka
sebagai mana mereka menyayangiku dikala kecil.
Bapak, Ibu doakan anakmu ini yang masih berjuang,
berjalan dalam rangkaian titik mimpi yang masih panjang. Untuk mewujudkan mimpi serta asa untuk diri,
negeri serta agama ini dan terlebih untuk bapak dan ibu tersayang.
Sungguh dalam darah di tubuhku masih mengalir cinta
dari kalian berdua Bu, Pak :)
T-E-R-I-M-A-K-A-S-I-H atas segalanya yang telah kau berikan padaku,
Pak. Tak ada kalimat yang lebih indah selain “Uhibbukum
Fillah” :)
Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
Benturan dan hempasan terpahat di keningmu
Kau nampak tua dan lelah, keringat mengucur deras
namun kau tetap tabah hm...
Meski nafasmu kadang tersengal
memikul beban yang makin sarat
kau tetap bertahan
Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
kini kurus dan terbungkuk hm...
Namun semangat tak pernah pudar
meski langkahmu kadang gemetar
kau tetap setia
Ayah, dalam hening sepi kurindu
untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban
Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
kini kurus dan terbungkuk hm...
Namun semangat tak pernah pudar
meski langkahmu kadang gemetar
Kau tetap setia
Benturan dan hempasan terpahat di keningmu
Kau nampak tua dan lelah, keringat mengucur deras
namun kau tetap tabah hm...
Meski nafasmu kadang tersengal
memikul beban yang makin sarat
kau tetap bertahan
Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
kini kurus dan terbungkuk hm...
Namun semangat tak pernah pudar
meski langkahmu kadang gemetar
kau tetap setia
Ayah, dalam hening sepi kurindu
untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban
Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
kini kurus dan terbungkuk hm...
Namun semangat tak pernah pudar
meski langkahmu kadang gemetar
Kau tetap setia
#Ebiet G Ade-Titip Rindu Buat Ayah
Jakarta, 25 Juni 2013
Komentar
Posting Komentar