“ ... matahari, lentera, dan bintang. Mereka menyinari, memberikan cahaya kepada orang lain. Namun, mereka tidak pernah padam dan tidak menyakiti diri sendiri dan berbeda dengan lilin yang dapat menyinari orang lain tetapi mematikan diri sendiri. Dan selapas dari apapun itu kamu adalah dirimu sendiri, jangan pernah menjadi diri orang lain. karena itu akan mematikan karaktermu secara perlahan.”
Ibu
menghentikan ceritanya.
“Kenapa ibu berhenti ceritanya? Aku masih ingin mendengarkan cerita
dan nasihat ibu lagi.” Tanyaku pada ibu.
“Kita istirahat dulu ya Nak, nanti setelah kita sholat ashar kita
lanjut lagi ceritanya. Besok kamu libur kan sekolahnya? Nanti sekalian kita
ajak Ayah untuk bercerita juga, cerita Ayah biasanya lebih seru dari ibu lho, Nak.
kamu ganti pakaian sekolah kamu dulu, sana.” jawab ibu yang terlihat pucat
wajahnya tetapi masih mencoba tersenyum untukku si anak bungsu ini.
“Oke bu, siap. Hmm, entar aku juga ajak ka Najwa dan ka Arsyad sama
Ka Urfa ah kalo mereka sudah pada dirumah nanti, buat dengerin cerita ibu sama Ayah.”
Kataku pada ibu.
Aisyah
Syaqiilaa adalah sesosok anak bungsu yang kini duduk dibangku kelas lima
sekolah dasar negeri di dekat komplek rumahnya, dan anak ini yang sangat dekat sekali dengan ibunya
yang sekarang ini memilih untuk menjadi ibu rumah tangga setelah risen dari
sebuah perusahaan berbasis penelitian dalam bidang kesehatan yang sudah
digelutinya selama beberapa tahun terakhir. Ibunda Aisyah ini adalah seorang ibu
yang cantik, cerdas, dan shalehah. Ayahnya bekerja sebagai anggota dewan.
Namun, jabatan Ayah serta keadaan keuangan keluarga yang dapat dikatakan
golongan kelas atas tidak membuat Aisyah serta kedua kakaknya menjadi sombong
dan bermalas-malasan dalam belajar dan bekerja, dan terbukti dengan prestasi akademik
dari mereka.
Aisyah
memiliki kakak laki-laki dan perempuan. Kakak pertamanya adalah Ka Arsyad yang
sudah menikah dengan seorang wanita cantik dan cerdas, namanya ka Urfa. Dan Ka
Arsyad tinggal bersama Ka Urfa dirumah dekat orangtuanya, hanya berbeda satu RW
saja. Sedangkan kakak keduanya bernama Najwa Qaulan Sadida, masih kuliah di
kedokteran UI semester tujuh.
“Assalamu’alaykum”
Suara
Ayah dari depan pintu rumah yang terdengar sampai ruang tamu rumahnya. Dan
membuat Aisyah terbangun dari duduknya dikursi ruang keluarga, memecahakan
perbincangan antara Ibu dan anak-anaknya yang sudah kumpul dirumah.
Aisyah
berlari kecil menuju pintu rumahnya untuk membukakan pintu untuk menyambut kedatangan
Ayahnya.
“Wa’alaykumsalam, Ayah. Wah tumben banget Ayah pulang jam segini.
Berarti kita bisa sholat maghrib jama’ah dirumah nih yah, ya kan Bu?” aku
menjawab salam Ayah sambil menarik tangan Ayah untuk mengajaknya masuk ke dalam
rumah.
“Iya, Ayah sengaja pulang cepat hari ini karna Ayah tahu kalau
anak-anak Ayah hari ini lagi pada ngumpul semua, jadi Ayah kan bisa ketemu sama
ka Najwa dan Ka Arsyad yang sekarang-sekarang ini Ayah jarang melihat
kakak-kakak kamu dirumah ini, apalagi Ka Arsyad sama Ka Urfa.” Ayah menjawab
pertanyaanku dengan senyum jahilnya sambil melirik ke arah Ka Najwa dan Ka
Arsyad dan istrinya.
“Woooo, Ayah. Bisa aja. Padahalkan yang jarang ada dirumah itu Ayah,
yang sibuk dengan setumpuk agendanya, yang katanya untuk ummat, ya kan Bu?
Hehe, kalo aku mah sering ada dirumah yah. Ka Arsyad sama Ka Urfa tuh yang
jarang mampir kerumah.” kata Ka Najwa membela diri dengan senyum ke arah Ibu.
“Yeeee, enak aja. Arsyad sama Urfa mah sering nengok Ibu kerumah yah.
Cuma kita ga pernah ketemu Ayah sama Najwa aja pas kita lagi kerumah. Lagi, Ayah
sibuk banget sih. Kasihan tuh Ibu sendiri terus yah, Cuma ditemenin sama si
krucil satu ini.” Ka Arsyad membela diri dari Ka Najwa sambil mengelus kepalaku
yang berbalutkan jilbabku
Ka
Urfa yang berada disamping Ibu hanya tersenyum dan terlihat beberapa kali
menggelengkan kepalanya melihat suami bersama adik-adiknya.
“Hussh, sudah. Kalian engga kasihan tuh sama Ayah, belum duduk tapi
sudah disambut serbuan pernyataan anak-anaknya. Sudah, kita siap-siap untuk
sholat maghrib dulu, kalian ambil wudhu dan langsung ke ruang tengah. Arsyad
sama Ayah nanti sholatnya dimasjid, nah yang perempuan sholatnya dirumah
jama’ah sama ibu. Ibu mau nyiapin untuk mandi Ayah dulu.” Tambah ibu pada kami
dan sebagai penutup perbincangan kami sebelum sholat maghrib.
Ibuku
adalah seorang wanita tangguh dalam peranannya. Dari rahimnya yang sucilah aku
dan kedua kakakku dilahirkan. Dari tangan lembutnya lah aku dan kedua kakakku
dapat menjadi anak yang berprestasi. Ka Arsyad lulus S1 dengan tepat
waktu lalu mendapatkan beasiswa melanjutkan kuliah S2 diluar negeri sebelum
menikah dengan Ka Urfa, dan dulu pernah menjadi presiden di kampusnya. Ka Najwa
menjadi kandidat mahasiswa berprestasi tingkat universitasnya. Dan aku,
Alhamdulillah selalu mendapat peringkat satu di sekolahku.
Ayah
lebih suka dipanggil sebagai pelayan rakyat dibanding dengan anggota dewan,
karena kata Ayah amanah sebagai anggota dewan itu terlalu berat, pelayan rakyat
adalah untuk pengingat Ayah secara langsung, agar Ayah selalu ingat bahwa ada
tanggungan rakyat dipundak Ayah.
Itulah hebatnya ibuku, beliau membesarkan anak-anaknya dengan penuh kesabaran, walau sering sekali tidak didampingi oleh ayah disampingnya. Tapi, ini yang membuat Ayah sering sekali membanggakan Ibu didepan anak-anaknya.
“Ayah
bersyukur sekali, mempunyai seorang istri seperti ibu kalian. Ibu sangat sabar
dan ikhlas ketika tahu Ayah akan diamanahi sebagai anggota dewan, sebelum
menjadi anggota dewan Ayah memang sudah sering berada diluar rumah. Tapi, ayah
selalu percaya pada Ibu kalau Ibu bisa mendidik, serta menjaga kalian dengan
baik tanpa harus ada ayah disampingnya. Karena sebelum ayah menikah, ayah
selalu ingat dengan kalimat kakek kalian dulu bahwa ada hak anak-anak kamu
kelak pada dirimu yaitu dengan mencarikannya seorang ibu yang baik, cerdas dan
sholehah. Juga ditambah dengan nasehat nenek, bahwa nasib suatu peradaban
berada ditangan seorang ibu, karena ibu adalah sekolah yang paling pertama
untuk anak-anaknya.” Begitu kalimat ayah yang selalu aku ingat.
Bersambung …
Jakarta, 27 Desember 2017
Komentar
Posting Komentar